Penerbit : TEMPO
Tebal : 470 halaman
Kategori : non fiksi, essay
Jenis kover : soft cover
Kondisi : bekas, baik
Harga : Rp. 60.000
Berat : 515 gram
Bahasa : Indonesia
SINOPSIS
Selepas jadi pemimpin redaksi majalah Tempo dua periode (1971 – 1993 dan 1998-1999), Goenawan nyaris jadi apa yang pernah ia tulis dalam sebuah esainya: transit lounger. Seorang yang berkeliling dari satu negara ke negara lain: mengajar, berceramah, menulis. Seorang yang berpindah dari satu tempat penantian ke tempat penantian berikutnya, tapi akhirnya hanya punya sebuah Indonesia. Seperti yang ditulisnya dalam sebuah sajaknya ”Barangkali memang ada sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang.”
Dalam perjalanan itu lahir sejumlah karya. Bersama musisi Tony Prabowo dan Jarrad Powel ia membuat libretto untuk opera. Kali (dimulai 1996, tapi dalam revisi sampai 2003) dan dengan Tony, The King’s Witch (1997-2000). Yang pertama dipentaskan di Seattle (2000), yang kedua di New York. Di tahun 2006, Pastoral, sebuah konser Tony Prabowo dengan puisi Goenawan dipentaskan di Tokyo, 2006. Di tahun ini juga ia mengerjakan teks untuk drama tari Kali Yuga bersama koreografer Wayan Dibya dan penari Ketut Rina beserta Gamelan Sekar Jaya di Barkeley, California.
Tapi ia juga ikut dalam seni pertunjukan di dalam negeri. Dalam bahasa Indonesia dan Jawa, Goenawan menulis teks untuk wayang kulit yang dimainkan Dalang Sudjiwo Tedjo, Wisanggeni, (1995) dan Dalang Slamet Gundono, Alap-alapan Surtikanti (2002), dan drama tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.
Kumpulan esainya berturut-turut: Potret Seorang Penyair Muda sebagai si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).
Sajak-sajaknya dibukukan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmarandana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-sajak Lengkap 1961-2000 (2001). Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul: Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).
Setelah pembredelan Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama dengan rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen, serta sejumlah cendikiawan yang memperjuangkan kebebasan berekspresi. Secara sembunyi-sembunyi antara lain di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap Orde Baru. Sebab itu di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen: aktivis pro demokrasi, seniman, dan cendikiawan yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu. Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan, bersama-sama disebut “Komunitas Utan Kayu”. Semuanya meneruskan cita-cita yang tumbuh dalam perlawanan terhadap pembrangusan ekspresi.
Catatan Pinggir, esei pendeknya setiap minggu untuk Majalah Tempo, diantaranya terbit dalam terjemahan Inggris oleh Jeniffer Lindsay, dalam Sidelines (1994) dan Conversation with Difference (2002). Kritiknya diwarnai keyakinan Goenawan bahwa tak pernah ada yang final dalam manusia. Kritik yang meminjam satu bait sajaknya, “dengan raung yang tak terserap karang”.

Posted by niagarabuku
Tags: Essay , feature , filsafat , Goenawan Mohamad